Minggu, 31 Oktober 2010

SUMPAH PEMUDA

ANALISA POLITIK
Untuk Memperingati 82 tahun Sumpah Pemuda

Airlangga Pribadi
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga


APABILA kita hidup delapan puluh dua tahun lalu saat Pemuda Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Assat dan Sukiman dan pemudi Sitti Soendari, memimpin sebuah ikrar yang kemudian kita kenang sebagai peristiwa Sumpah Pemuda, maka akan kita rasakan bahwa semangat zaman dan suasana mental yang tumbuh dan membakar di kalangan kaum muda saat itu, bukan saja sebuah momen historis saat segenap sentimen kedaerahan dan tendensi provisionalisme berubah menjadi kesadaran untuk menyatu dan terikat dalam komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.

Namun, lebih dari kesadaran untuk bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia, yang lebih membanggakan lagi bagi kaum pemuda pelajar yang hidup sebagai kaum terjajah adalah untuk pertama kalinya zaman itu dihayati sebagai Zaman Kemenangan! Saat sekumpulan kaum muda yang sering dijuluki 
inlander, atau bahkan Minke atau Monkey (dalam penuturan dari Pramoedya Ananta Toer) berhasil memenangkan gagasan tentang Indonesia dalam pertarungan di ruang publik kolonial Hindia Belanda.

Seperti dituturkan oleh R.E. Elson dalam karya magnum opusnya 
The Idea of Indonesia, menginjak akhir era 1920-an, term Indonesia menjadi sebuah teks hegemonik terutama di kalangan aktivis politik, dimana orang-orang Belanda sendiri mengakui bahwa pada saat itu gagasan tentang Indonesia semakin diterima di tanah jajahan oleh kaum Bumiputera. Sebuah perjuangan atas nama sebuah kata sebagai perekat impian bersama, meja statis yang mempersatukan segenap kolektivitas perlawanan terhadap kolonial dan menjadi leitstar(bintang penunjuk jalan) bagi arah masa depan himpunan kolektivitas ini adalah sebuah perjalanan politik heroik yang panjang.

Mengikuti trajektori visioner dari gerakan politik yang ditorehkan oleh Antonio Gramsci (1971) dalam 
Prison Notebooks, kemenangan politik sebuah gerakan kerakyatan ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengawal tiga fase ranah pergerakan, yaitu level pertama saat mereka yang tertindas dan dilumpuhkan sadar akan kondisinya dan berusaha mengorganisir diri untuk menuju level kedua, yaitu fase saat mereka menyadari kepentingannya dan berani untuk memperjuangkan kepentingan partikular mereka melalui arena politik dan kultural. Ketiga, momen historical block (blok sejarah), saat segenap kepentingan-kepentingan partikular yang memperjuangkan diri dalam arena politik mampu melampaui segenap kepentingan partikular mereka dan membangun blok perlawanan bersama atas nama memperjuangkan kepentingan kolektif. Saat momen ketiga ini tercapai maka sebuah pergerakan berbasis kerakyatan telah mendekat satu langkah menuju momen hegemonik.

Apa yang berlangsung dalam sejarah pergerakan modern Indonesia, mengikuti trajektori politik yang dikembangkan Gramsci. Pada awalnya, kebangkitan Boedi Oetomo adalah kebangkitan awal bagi rakyat jajahan dimana mereka mulai menyadari bahwa mereka harus bangkit dan berorganisasi untuk menunjukkan diri dan identitas, meski fase ini hadir masih dalam bentuk sentimen provisionalisme berbasis kebangsaan Jawa. Dalam sejarah selanjutnya, masuknya pergerakan kaum nasionalis dalam arena politik dan memperjuangkan kepentingannya muncul dalam bentuk sentimen nasionalisme religius dan kesadaran politik berbasis kelas. Pada fase ini gerakan kebangsaan mulai belajar memperjuangkan kepentingannya dalam arena politik. Sebuah mitos tengah dihancurkan bahwa rakyat Bumiputera selalu berada pada posisi 
inferiordihadapan kolonialisme Belanda. Pada fase ini kesadaran tentang kemampuan rakyat untuk memperjuangkan tanah air di masa depan dan membentuk sebuah komunitas politik mulai diperkenalkan. Saat ini ditandai ketika Tjipto Mangoenkoesomo untuk pertama kalinya menggunakan istilah Indonesia secara kultural pada tahun 1918 dan menggunakannya dalam artikulasi politik pada pidato Volksraad setahun setelahnya.

Momen pembentukan 
historical block hadir saat segenap kepentingan partikular mulai saling bertemu untuk membangun sebuah kesadaran politik bersama yang melampaui segenap kepentingan partikular bersemi semenjak Juli 1927. Pada saat itu terjadi proses transformasi radikal dalam aras kebangsaan Indonesia, ketika pasang surut perjuangan nasionalisme berbasis agama dan kelas terjadi, dan muncul manifesto kebangsaan baru berbasiskan kewargaan terbuka (inclusive citizenship) dengan lahirnya PNI di bawah pimpinan Soekarno. Tahun 1927-1928 adalah momen yang sangat bergejolak, sebagai kawah candradimuka dari penguatan formasi front bersama kaum nasionalis Indonesia. Dimana artikulasi kebangsaan baru yang melampaui sentimen kedaerahan, agama dan kelas muncul dan menegaskan dirinya dalam mencapai momen kemenangan menambatkan istilah Indonesia sebagai sebuah istilah bersama bagi rakyat Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda.

Puisi Sumpah Pemuda

SUMPAH PEMUDA
Hari dimana pengakuan meluap…
Menjadi satu dalam  sebuah pengucapan
Meluapkan tumpah darah pengorban
Berpegang teguh dalam sebuah perkataan..

Kami, putra putri Indonesia
Bersumpah, bertanah air satu,
Berbangsa satu,
Dan berbahasa yang Satu, Indonesia.